Beranda | Artikel
Syarah Ushul Tsalatsah [Bagian 2]
Rabu, 14 September 2016

oleh : Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah

RISALAH YANG PERTAMA

Empat Perkara yang Terkandung dalam Surat Al ‘Ashr

Ilmu

gambar-1

 

Beliau berkata : “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu”

Keterangan :

Perkataan beliau “ketahuilah/ilmuilah” adalah sebuah kalimat yang mengisyaratkan untuk memperhatikan tema yang dibicarakan. Maka apabila beliau berkata “ketahuilah” itu artinya sesuatu perkara yang hendak disampaikan kepada Anda adalah perkara yang penting. Maka kalimat ini menunjukkan pentingnya topik yang akan beliau bicarakan.

Adapun makna i’lam (ketahuilah) adalah kata kerja perintah yang berasal dari kata ilmu artinya ‘ketahuilah’. Adapun ilmu adalah mengetahui sesuatu sebagaimana keadaannya yang sesungguhnya atau menggambarkan sesuatu sesuai dengan kenyataan.

Adapun mengetahui sesuatu yang menyelisihi kenyataannya atau menggambarkan sesuatu yang berbeda dari kenyataan maka itu adalah kebodohan dan itu merupakan kebalikan dari ilmu.

Perkataan beliau “semoga Allah merahmatimu” ini adalah doa untuk penimba ilmu. Maka Syaikh mendoakan untuk para penimba ilmu supaya Allah merahmati mereka dan mencurahkan kepada mereka rahmat-Nya subhanahu wa ta’ala. Hal ini merupakan sikap lembut dari seorang pengajar kepada orang yang belajar dan bahwasanya hendaknya ia memulai pembicaraan dengan kalimat yang bagus dan doa yang baik sehingga hal itu akan meninggalkan bekas pada diri muridnya dan dia akan lebih berkonsentrasi untuk memperhatikan orang yang mengajarinya.

gambar-2

Adapun apabila si pengajar mengawali dengan kalimat yang kasar atau kalimat yang tidak sesuai maka hal ini justru akan membuat orang menjadi lari. Oleh sebab itu wajib bagi seorang pengajar dan orang yang berdakwah menuju jalan Allah dan bagi orang yang memerintahkan yang ma’ruf atau melarang dari yang mungkar untuk bersikap lembut bersama dengan orang yang diajak bicara dengan cara mendoakan kebaikan untuknya, memujinya, atau mengucapkan perkataan yang halus maka sesungguhnya hal ini lebih mudah untuk diterima.

Adapun orang yang menentang atau sombong maka sesungguhnya orang semacam ini ada cara lain untuk berbicara kepadanya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian mendebat ahli kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali orang-orang yang berbuat dzalim diantara mereka dan katakanlah “Kami beriman kepada apa-apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian dan sesembahan kami serta sesembahan kalian adalah satu dan kami kepada-Nya pasrah”” (Al Ankabut ayat 46).

Orang-orang yang berbuat dzalim dari kalangan ahli kitab dan orang-orang yang membangkang serta menyombongkan diri maka mereka itu tidak diajak bicara dengan cara yang terbaik akan tetapi hendaknya mereka itu diajak bicara dengan cara yang bisa membuat mereka jera. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai Nabi berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik dan bersikaplah keras kepada mereka. Tempat tinggal mereka itu adalah Neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (At Taubah ayat 73). Orang-orang munafik tidak diperangi dengan senjata tetapi mereka itu dilawan dengan hujjah atau dalil, ucapan, dan bantahan kepada mereka dengan keras supaya mereka jera dan supaya manusia meninggalkan mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik (yang artinya), “Dan ucapkanlah kepada mereka pada diri-diri mereka dengan ucapan yang mendalam.” (An Nisa’ ayat 63). Mereka itu memiliki cara yang khusus untuk diajak bicara karena mereka adalah orang-orang yang membangkang dan menyombongkan diri

gambar-3

serta tidak menginginkan kebenaran. Akan tetapi mereka menginginkan menjadikan manusia sesat oleh sebab itu mereka diajak bicara dengan cara yang pantas untuk mereka.

Adapun orang yang menuntut ilmu atau mencari bimbingan maka orang semacam ini hendaknya diajak bicara dengan lembut, penuh kasih sayang, dan cara yang halus karena sesungguhnya dia menghendaki kebenaran serta menginginkan ilmu dan faidah.

Perkataan beliau “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu” ini adalah doa untukmu supaya kamu mendapatkan rahmat. Apabila Allah merahmati dirimu niscaya kamu akan menjadi bahagia dengan sebab rahmat itu di dunia dan di akhirat yaitu jika Anda tercakup di dalam rahmat Allah. Ini adalah doa dari seorang ulama yang mulia dan seorang lelaki yang shalih yang diharapkan terkabul insya Allah.

Beliau berkata : “Bahwasanya wajib atas kita mempelajari empat perkara”

Keterangan :

Perkataan beliau wajib, yang dimaksud wajib itu adalah segala sesuatu yang diberikan pahala bagi pelakunya dan akan diberikan diberikan hukuman bagi orang yang meninggalkannya. Adapun sesuatu yang mustahab (sunnah) adalah segala sesuatu yang diberikan pahala bagi pelakunya dan tidak akan dihukum orang yang meninggalkannya. Adapun sesuatu yang mubah itu adalah perkara yang tidak ada pahala apabila dikerjakan dan tidak ada hukuman jika ditinggalkan.

Perkataan beliau “wajib” maksudnya adalah perkara ini bukan sesuatu yang sekadar mustahab (dianjurkan) dan bukan juga perkara yang mubah tetapi termasuk sesuatu yang wajib ‘ain (wajib bagi setiap orang).

Oleh sebab itu apabila kita meninggalkan memepelajari perkara-perkara ini kita menjadi berdosa karena seperti itulah keadaan perkara yang hukumnya wajib. Beliau tidak berkata “dianjurkan bagi kita atau sebaiknya bagi kita” tetapi beliau mengatakan “wajib atas kita” artinya benar-benar wajib. Dan wajib itu maknanya harus. Barangsiapa meninggalkannya dia berdosa. Dan sesungguhnya ilmu itu tidak diperoleh kecuali dengan belajar,

gambar-4

sementara belajar membutuhkan perhatian, kesungguhan, dan waktu. Belajar juga membutuhkan pemahaman dan hadirnya hati. Inilah yang disebut dengan belajar.

Perkataan beliau “empat perkara” maksudnya empat pembahasan. Ia disebut sebagai perkara/masalah karena hal itu harus ditanyakan dan diperhatikan.

Beliau berkata : “Yang pertama yaitu ilmu”

Keterangan :

Perkataan beliau yaitu “ilmu” yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu syar’i, karena itulah ilmu yang wajib untuk dipelajari. Perkara-perkara ini wajib dipelajari oleh setiap muslim baik lelaki atau perempuan, orang yang merdeka ataupun budak, orang yang yang kaya atau miskin, raja atau rakyat jelata. Setiap muslim wajib mempelajari empat perkara ini.

Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah wajib ‘ain yaitu perkara yang wajib bagi setiap orang dari muslimin. Shalat lima waktu adalah wajib bagi para lelaki dan perempuan, shalat berjama’ah di masjid wajib bagi kaum lelaki. Perkara semacam ini wajib bagi setiap individu kaum muslimin untuk mempelajarinya oleh sebab itu beliau berkata “wajib atas kita”. Beliau tidak mengatakan “wajib atas sebagian kita” akan tetapi beliau mengatakan “wajib atas kita” yaitu seluruh kaum muslimin. Maka hal ini termasuk ilmu yang wajib dipelajari oleh orang karena ilmu ada dua macam:

Pertama : Ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap orang sehingga tidak ada seorangpun yang diberi toleransi untuk tidak mengetahuinya, yaitu ilmu mengenai hal-hal yang tidak lurus agamanya kecuali dengan hal itu seperti rukun islam yang lima

gambar-5

yang mencakup dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah al Haram; maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk tidak mengetahuinya bahkan dia harus mempelajarinya.

Mempelajari makna dua kalimat syahadat itu sesungguhnya mempelajari masalah akidah, seorang muslim mempelajari akidah untuk diamalkan dan dia mempelajari hal-hal yang yang merusaknya dalam rangka menjauhinya; inilah kandungan dari dua kalimat syahadat. Demikian juga mempelajari rukun-rukun shalat, syarat-syarat shalat, wajib-wajib shalat, sunnah-sunnah shalat maka harus mempelajari perkara-perkara ini secara terperinci bukan hanya sekadar dia shalat dalam keadaan dia tidak mengetahui hukum-hukum shalat. Bagaimana mungkin seorang insan mengerjakan suatu amalan dalam keadaan dia tidak mengetahui ilmu tentang amal yang sedang dia kerjakan? Bagaimana mungkin dia menunaikan shalat sementara dia tidak mengerti hukum-hukumnya? Sudah seharusnya mempelajari hukum-hukum shalat, pembatal-pembatal shalat, hal ini semuanya harus dipelajari.

Demikian pula mempelajari hukum-hukum zakat, mempelajari hukum-hukum puasa, dan mempelajari hukum-hukum haji apabila dia ingin menunaikan ibadah haji maka dia wajib mempelajari hukum-hukum haji dan hukum-hukum umrah supaya dia bisa melaksanakan ibadah-ibadah ini sebagaimana tuntunan syariat.

Kelompok ilmu semacam ini tidak ada seorangpun yang diberi udzur/toleransi untuk tidak mengetahuinya dan inilah perkara yang disebut sesuatu yang wajib ‘ain bagi setiap muslim.

gambar-6

Bagian kedua dari macam-macam ilmu adalah hal-hal yang lebih daripada hal itu berupa hukum-hukum syariat yang dibutuhkan umat secara keseluruhan dan bisa jadi tidak dibutuhkan oleh setiap individu seperti contohnya hukum-hukum jual beli, hukum-hukum muamalah, hukum-hukum wakaf, warisan, dan wasiat atau hukum-hukum pernikahan dan hukum-hukum tindak pidana maka ini semuanya pasti dibutuhkan umat tetapi tidak wajib bagi setiap individu umat untuk mempelajarinya. Akan tetapi jika ada sebagian orang/para ulama yang mempelajarinya sehingga tujuan itu bisa tercapai maka hal ini sudah cukup supaya mereka bisa menunaikan kebutuhan kaum muslimin dalam bentuk keputusan peradilan, fatwa, pengajaran ilmu, dan lain sebagainya. Perkara semacam ini disebut dengan istilah wajib kifayah yang apabila ada sebagian orang yang mencukupi atau menunaikannya maka telah gugur dosa dari yang lainnya dan apabila semuanya meninggalkan hal itu mereka semua menjadi berdosa.

Oleh sebab itulah umat pasti membutuhkan orang-orang yang mempelajari ilmu semacam ini karena mereka butuh kepadanya. Meskipun demikian tidaklah dikatakan kepada setiap orang ‘wajib atasmu untuk mendalami ilmu dalam masalah ini’ karena bisa jadi masalah ini tidak bersinggungan dengan setiap orang atau mungkin dia tidak mampu. Hanya saja ilmu ini wajib dipelajari orang-orang yang mampu dan bisa menguasainya dari kalangan umat ini. Selain itu jika ada sebagian umat yang telah mempelajari perkara ini maka kewajiban itu sudah ditunaikan. Berbeda keadaannya dengan kelompok ilmu yang pertama dimana setiap orang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri dalam mempelajarinya karena tidak mungkin dia bisa mengerjakan amal-amal itu kecuali dengan ilmu. Oleh sebab itu Syaikh berkata, “wajib atas kita”

gambar-7

beliau tidak mengatakan, “wajib atas kaum muslimin” atau “wajib bagi sebagian mereka” bahkan beliau mengatakan, “wajib atas kita” artinya atas setiap orang dari kita alias wajib ‘ain.

Dan perlu kita ketahui juga sebelum masuk dalam perkara-perkara yang akan dibahas bahwasanya yang dimaksud dengan ilmu yang wajib atas umat apakah itu wajib ‘ain atau kifayah itu adalah ilmu syar’i yang diajarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun ilmu keduniaan seperti ilmu tentang perindustrian, kerajinan, ilmu hitung/hisab, matematika, dan teknik maka ini adalah ilmu yang mubah/boleh. Boleh mempelajarinya dan terkadang menjadi wajib jika umat membutuhkannya dan kewajiban ini tertuju kepada orang yang mampu menguasainya. Meskipun demikian itu bukanlah ilmu yang dimaksud di dalam Al-Qur’an dan Sunnah atau ilmu yang mendapatkan pujian dari Allah Ta’ala kepada pemiliknya dan ada sanjungan khusus untuk mereka dan bukan pula termasuk orang yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ‘para ulama/ahli ilmu adalah pewaris para nabi’ (HR. Bukhari dalam Kitab al-‘Ilmi secara mu’allaq/tanpa sanad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu). Yang dimaksud ilmu di sini adalah ilmu syar’i.

Adapun ilmu keduniaan maka barang siapa tidak mengetahuinya tidak mendapat dosa dan barangsiapa mempelajarinya maka hal itu boleh baginya. Dan apabila dengan ilmu itu dia bisa memberikan manfaat untuk umat maka ia diberi ganjaran pahala. Seandainya ada seorang meninggal dalam keadaan tidak mengetahui ilmu ini dia tidak dihukum atasnya pada hari kiamat. Akan tetapi barangsiapa meninggal dalam keadaan tidak mengetahui ilmu syar’i dan terlebih khusus

gambar-8

lagi ilmu yang bersifat darurat maka dia akan ditanya tentang hal itu pada hari kiamat ‘Mengapa kamu tidak mempelajarinya? Mengapa kamu tidak bertanya?’ Orang yang mengatakan apabila dia diletakkan di dalam kuburnya, “Rabbku adalah Allah, islam agamaku, dan nabiku Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam” maka dia akan selamat. Ketika ditanyakan kepadanya ‘Dari mana kamu mendapatkan hal ini’ lalu dia menjawab ‘Aku membaca kitab Allah dan mempelajarinya’.

Adapun yang orang berpaling dari hal itu ketika dia ditanya di dalam kuburnya maka dia akan menjawab, “Hah hah aku tidak tahu. Aku mendengar orang lain mengatakan sesuatu maka akupun mengatakannya.” Orang seperti ini kuburnya akan dipenuhi dengan kobaran api, kita berlindung kepada Allah darinya. Akan disempitkan kuburnya itu sampai bergeser tulang-tulangnya dan dia pun berada di dalam salah satu lubang Neraka. Hal itu dikarenakan dia tidak mengetahui/tidak mau tahu dan tidak mengikuti maka dikatakan kepadanya ‘Kamu tidak mau tahu dan tidak membaca atau mengikuti’ (HR. Bukhari secara ringkas dari Anas, Muslim secara ringkas dari Anas, dan Abu Dawud secara panjang lebar dari Bara’ bin Azib). Itu artinya dia tidak belajar dan tidak mengikuti ahli ilmu sehingga hidupnya penuh dengan kesia-siaan/kelalaian maka orang seperti ini pada akhirnya akan mendapati kebinasaan, kita berlindung kepada Allah dari hal itu.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/syarah-ushul-tsalatsah-bagian-2/